LIYAN (THE OTHERS)

LIYAN (THE OTHERS) 

Bacaan Setahun: 
2 Taw. 31-32 , Zakh. 11 

“Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” (Galatia 5:14)

Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” adalah jiwa dari masyarakat Nusantara, yang telah menjadi pedoman hidup dan budaya sehingga kita bisa melihat cara hidup masyarakat Nusantara yang tidak pernah menganggap orang lain sebagai orang asing (liyan / the others). Penerimaan yang luar biasa terhadap orang lain (liyan) yang bukan sesuku atau bukan sepaham, bahkan terhadap orang asing sekalipun.

Kita mengenal kata toleransi yang artinya menerima pendapat atau kebiasaan yang berbeda atau yang bertentangan tanpa mempertentangkan. Namun harus kita pahami bahwa “Bhinneka Tunggal Ika” bukan sekadar toleransi, tetapi lebih tinggi dari toleransi. Masyarakat Nusantara pada zaman Majapahit digambarkan sebagai masyarakat yang santun, ramah, terbuka, multikultural (kita masih menjumpai kesan seperti ini sampai saat ini di sebagian daerah di INDONESIA). Masyarakat Nusantara saat itu dapat menerima orang asing bukan sebagai orang asing, tetapi menerima dan berinteraksi sehingga budaya asing bisa menjadi bagian yang ikut serta menyempurnakan budaya di Nusantara.

Kita bisa melihat bahwa keberbedaan suku dan bangsa tidak diposisikan sebagai “the others” / liyan, bukan sebagai ancaman atau permusuhan, tetapi sebagai bagian dari pemersatu untuk menyempurnakan sesuai semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Nilai ini bukan hanya tentang toleransi, karena toleransi masih mengandung prasyarat. Saya bisa katakan bahwa sikap toleransi adalah sikap baik yang masih bersifat ritual, sedangkan menerima orang lain seperti diri sendiri, bukan lagi “liyan (the others)” adalah bersifat spiritual (beyond the law).

Karena bersifat ritual, toleransi seseorang mempunyai kadar yang berbeda, artinya batasan toleransi seseorang berbeda dengan yang lain sesuai pemahaman ritualitas dalam agama mereka. Sebagai contoh, ada orang yang bisa bersahabat dengan yang seagama. Tapi ada yang tidak bisa kecuali seagama dan semazab (sealiran). Jika seseorang bisa bersahabat dengan semua orang tanpa batas suku dan agama, maka orang ini adalah seseorang yang berjalan di atas ritual, ia telah bersifat spiritual (beyond the law).

Hari ini kita bisa memeriksa diri kita, baik sebagai pribadi atau sebagai bangsa. Jika kita adalah seorang yang hanya sekadar toleran, maka tidak heran jika kita merasa “terancam”, merasa “inferior”, dan selalu merasa menjadi korban. Namun, jika kita adalah seorang pribadi yang bisa melihat “the others” seberapa berbedanya pun bukan sebagai ancaman, maka jiwa kita akan terbuka, hati kita akan lapang, dan apapun yang terjadi dalam hidup kita bukan lagi ancaman, tetapi sebuah perjalanan spiritual (Rohani), bukan sekadar ritual.

Inilah sebenarnya “the way of thinking” bangsa kita. Jika kita memahami ini, kita akan menjadi bangsa besar yang memberikan jawaban bagi dunia yang penuh pertikaian. Bukan bangsa yang bercita-cita besar tetapi berjiwa kecil. “Bhinneka Tunggal Ika” adalah jawaban bagi situasi INDONESIA saat ini dan bagi dunia karena nilai Bhinneka Tunggal Ika adalah “beyond the law”. (DD)

Questions:
1. Mengapa toleransi sebenarnya masih bersifat ritual?
2. Apakah Anda merasa terancam dengan perbedaan?

Values:
Dalam Kristus, sesamamu manusia bukanlah orang yang sama dengan kamu.

Kingdom’s Quotes:
Sesamamu manusia seringkali diinterpertasikan orang yang mempunyai keadaan dan reputasi yang sama, sehingga bisa menguntungkan kita.