SIAP MENANG – SIAP KALAH

Bacaan Setahun:
1 Taw. 16
Luk. 16
Mzm. 62

“Dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya: “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.” Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat; dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya: “Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.”1Samuel 18:7-8

Di Indonesia saat menjelang peristiwa pemilihan umum baik itu pemilihan Presiden, atau Kepala Daerah setiap kontestan biasanya diminta untuk menandatangani sebuah perjanjian yang biasanya disebut Pakta Integritas. Point penting Pakta itu adalah sikap Siap Menang dan Siap kalah, dan melakukan semua prosesnya secara jujur. Namun dalam kenyataannya masih sering kita jumpai bahwa pihak-pihak yang ingin menang berusaha menggunakan berbagai cara untuk mengalahkan lawannya, yang tidak jarang juga gunakan cara-cara yang tidak sesuai etika dan norma. Atau pihak-pihak yang kalah sering tidak mudah menerima kekalahan tersebut dengan lapang dada, menganggap ada kecurangan, dimanipulasi, dan sebagainya.
Situasi ini yang kemudian mengakibatkan proses pengalihan kepemimpinan sering berjalan tidak mulus, penuh pertikaian dan bahkan kemudian menjadi pertikaian politis pada masa berikutnya. Alkitab menceritaan sebuah kisah tentang 2 pribadi yang kemudian menjadi raja Israel, yaitu Saul dan Daud. Saul yang secara defacto sudah tidak mendapat perkenanan Tuhan mulai merasa tidak aman kepada kehadiran Daud bukan pada saat Daud mengalahkan Goliat dalam pertempuran yang sangat heroik tetapi justru saat Saul mulai mendengar rakyat mulai mengelu-elukan Daud dengan deretan prestasi objektif yang dianggap jauh lebih banyak dari Saul.
Alih-alih merasa bangga terhadap kehebatan Daud sebagai hasil recruitmennya, Saul justru makin merasa terancam dengan hal itu. Ia seharusnya bangga karena Daud sebagai bagian pasukannya telah berhasil menjalankan berbagai misi yang ditugaskan. Saul terjebak dalam berbagai persepsi negatif yang lahir sebagai akibat kegagalan relasi spiritualnya dengan Allah dan menimbulkan berbagai rasa tidak aman (insecure). Jika Saul mengingat kembali sejarah hidupnya maka seharusnya dia mengingat bahwa pada awalnya Saul dipilih menjadi pemimpin bukan karena kehebatannya bertempur, tetapi sebagai sebuah proses anugerah Allah yang hadir dalam situasi-situasi khusus dalam hidupnya. Yang pertama adalah situasi disaat Saul justru hampir gagal memenuhi tugas Ayahnya untuk menemukan keledai yang hilang, dan yang kedua adalah melalui proses undian, dan justru pada saat itu Saul malah bersembunyi (1 Sam 9-1 Sam 10), dan Samuel justru yang memperkenalkan/meng-endorse Saul (1 Sam 10:24).
Melalui hal ini kita bisa pelajari bahwa musuh utama kepemimpinan seringkali bukanlah faktor tantangan luar, melainkan pergumulan pribadinya sendiri. Tetapi jika kita mau kembali kepada pemahaman akan siapa diri kita di mata Allah, maka kita akan sadar bahwa kita telah dipilih justru saat kita masih berdosa, dan Allah menanggung semua dosa dan rasa bersalah kita di kayu salib, dan karya penebusan-Nya menjadikan kita berharga bukan karena status dan jabatan kita. Jadi kita tetap berharga meskipun saat kita harus tergantikan. Anda Siap? (HA)

Questions :
1. Apakah Anda siap untuk berkompetisi dengan baik?
2. Jika ternyata Anda di posisi yang kalah, apakah Anda akan berlapang dada menerimanya? Mengapa?

Values :
Setiap warga Kerajaan seharusnya bisa berlapang dada menerima kekalahan dalam kompetisi, dan akan tetap berjabat tangan dengan kontestan pemenangnya.

Ingatlah, semuanya itu ada pada kontrol Allah, menang atau kalah tidak jadi soal, harus tetap memandang diri sebagai pribadi yang unggul karena Dia.