SONTOLOYO
Bacaan Setahun:
Kej. 26
Luk. 18
“Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya. Yang seorang yakin, bahwa ia boleh makan segala jenis makanan, tetapi orang yang lemah imannya hanya makan sayur-sayuran saja” (Roma 14:1-2).
Kata “sontoloyo” adalah sebutan untuk seorang penggembala bebek di Jawa, namun kata sontoloyo kemudian mengalami pergeseran arti. Mungkin karena barisan bebek yang di gembalakan sering menutupi jalan sehingga orang atau kendaraan yang lewat harus berhenti lama, maka orang yang lewat merasa terganggu dan mengumpat “dasar sontoloyo.“ Jadilah kemudian jika seorang jengkel dan melihat hal yang konyol dan tidak masuk akal, juga mengumpat: “dasar sontoloyo “. Presiden Jokowi pernah keceplosan karena jengkel menyebut “politisi sontoloyo” kepada polisi yang memakai cara- cara memecah belah, berita hoax dan isu sara dalam berpolitik. Sebenarnya kata ‘sontoloyo’ pernah juga populer di tahun empat puluhan sampai enam puluhan saat presiden Soekarno juga menyematkan kata ‘sontoloyo’ pada umat beragama yang hanya menekankan pada kekuatan simbol dan hukum/ fikih daripada esensi nilai yang diajarkan.
Bagi seorang pemikir dan berhati jernih seperti Presiden Soekarno amatlah mudah melihat kekonyolan (kesontoloyoan) agama yang anti sejarah dan anti modernisasi saat itu. Contoh, ia mengecam orang yang mengkafirkan umat beragama yang lain, atau mengecam mengkafirkan orang yang pro modernisasi, ia juga mengecam ulama yang kala itu mengharamkan donor darah. Ia menyebut kaum beragama sontoloyo. Bagi kita hari ini, mungkin kita bukan terbilang umat sontoloyo, karena tak menganggap donor darah bukan terlarang secara agama. Tapi bagaimana dengan pemakaian kontrasepsi? Bagaimana dengan makan darah binatang? Bagaimana dengan teknologi “stem cell” (sel punca)? Bukankah sebagai orang Kristenpun masih ada (walaupun tidak banyak) yang berpolemik dengan persoalan ini? Kita bisa menjadi umat beragama yang “sontoloyo” jika demi kebaikan dan kemurnian agama kita membinasakan umat beragama yang lain. Kita juga menjadi umat sontoloyo jika kita mengutamakan ibadah dibanding menolong saudara kita yang kelaparan. Kesontoloyoan bisa terjadi pada siapa saja. Seorang jadi “sontoloyo” ketika hanya berpikir kulit dan bukan esensi. Mungkin kita yang beragama Kristen dengan yakin beranggapan kita bukan lagi umat sontoloyo, karena kita tidak melawan dengan kekerasan walau simbol agama kita dilecehkan.
Namun jika orang Kristen mengkultuskan sedemikian rupa seperti minyak urapan, air suci, salib yang telah diberkati (daftar bisa diperpanjang), ini juga bentuk kekonyolan (kesontoloyoan). Karena bagi yang mengerti esensi iman yang sejati mengkultuskan benda-benda yang dianggap sakral dan suci dan juga melarang makanan tertentu adalah refleksi iman yang dangkal. Biasanya akan susah menyadarkan seorang yang berpengertian dangkal/beriman dangkal, seperti susahnya menyadarkan orang bahwa bumi itu bulat kepada kaum bumi datar.
Seperti bunyi firman di atas, solusinya kita tidak perlu memperdebatkan yang pengertiannya (imannya) dangkal. Karena suatu saat ketika kesadaran iman mereka bertumbuh, maka mereka akan meninggalkan “kesontoloyoan”-nya. Justru kalau kita makin mencaci, maka mereka akan terus hidup dalam kesontoloyoan.(DD)
Questions:
1. Apa arti sontoloyo ? Mengapa orang bisa bersikap dan berlaku konyol (sontoloyo)?
2. Bagaimana kita bisa terhindar dari cara berpikir ‘sontoloyo’?
Values:
Warga kerajaan harus terus belajar menjadi dewasa dengan belajar merenungkan Firman dan melakukannya.
Kingdom Quote:
Kekonyolon bisa dialami siapapun apalagi kalau seseorang tak mau berkomunitas dan tak mau menerima pendapat dengan orang lain