AWAS RANJAU!!

AWAS RANJAU!! 

Bacaan Setahun:

Kis. 6, Ul. 28, Ayub 17

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Filipi 2:5-7)

Setiap hari, kita sering mendengar tentang demonstrasi, aksi mogok, amukan massa, bahkan perang. Di media sosial, banyak orang mengunggah perilaku buruk di tempat umum. Kadang, mereka adalah korban perlakuan tidak adil dari orang-orang yang menuntut perlakuan istimewa. Kadang pula, mereka sendiri merasa tidak mendapatkan perlakuan yang “layak” mereka terima. Terlepas dari benar atau tidaknya tuntutan tersebut, sering kali semua dibayangi oleh rasa marah dan ajakan untuk berpihak.

Sebuah artikel tahun 1993 menuliskan hasil penelitian di Florida yang cukup mengkhawatirkan tentang efisiensi pompa jantung. Hasilnya menunjukkan bahwa kemarahan adalah emosi paling kuat dan berbahaya bagi jantung. Amarah mengurangi jumlah darah yang dipompa ke seluruh tubuh lebih banyak dibandingkan emosi lainnya dan sering kali menyebabkan masalah kesehatan. Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai anak-anak Tuhan? Menghilangkan kemarahan sepenuhnya jelas tidak mungkin. Bukan hanya karena itu adalah emosi yang diberikan Tuhan untuk melindungi kita dari bahaya, tetapi juga karena sebagai manusia, kita sulit melepaskan kedagingan yang tidak menyukai ketidaknyamanan dalam bentuk apa pun. Biasanya, ketika kenyamanan kita terganggu, kita bereaksi dengan ketidaksukaan atau kemarahan.

Dalam kehidupan sehari-hari, rasanya seperti berjalan di ladang ranjau. Ketika seseorang menginjak pemicunya, kita “meledak”. Pemicunya bisa bermacam-macam, mulai dari norma sosial, trauma, hingga kesombongan kita. Saya pernah membaca sebuah artikel tentang seseorang berpangkat tinggi yang selalu diperlakukan sebagai VIP. Orang-orang berlombalomba memenuhi kebutuhannya kapan pun ada kesempatan. Namun, begitu ia tidak lagi memegang jabatan tersebut, ia tetap berperilaku baik meskipun tidak lagi mendapat perlakuan istimewa. Ketika ditanya bagaimana ia bisa menyesuaikan diri dengan begitu baik, ia menjawab, “Karena saya selalu sadar bahwa perlakuan itu untuk pangkat saya, bukan untuk saya sebagai pribadi.”

Bagaimana jika kita membalik cara pandang ini? Bagaimana jika kita mengenakan jubah hamba, seperti yang telah diajarkan dan ditunjukkan Yesus kepada kita? Tidak peduli ke mana kita pergi, apa yang kita lakukan, atau bagaimana orang memperlakukan kita, bisakah kita tetap mengingat bahwa kita adalah duta besar-Nya yang mewakili-Nya? Lepaskanlah tuntutan untuk diperlakukan dengan cara tertentu. Lebih jauh lagi, sadarlah bahwa sebagai hamba, kita bahkan tidak memiliki hak untuk mengharapkannya. Jika kita diperlakukan dengan baik, mari kita bersyukur. Jika tidak, ingatlah “gelar” kita sebagai pelayan Tuhan. Dengan kesadaran itu, kita semakin menyerupai Yesus dalam setiap langkah hidup kita. (SO)

Questions:

1. Kapan dan mengapa anda terakhir marah? Di mana akarnya?
2. Di tengah dunia yang penuh “amarah” ini, bagaimana kita bisa menjadi pembawa damai?

Values:

Jangan sampai dosa pertama (kesombongan Lucifer) membawa lebih banyak perpecahan dan kehancuran dalam tubuh Kristus.

Kingdom’s Quotes:

“When you stop expecting people to be perfect, you can like them for who they are.” – Donald Miller