BERSATU BANGUN BANGSA
Bacaan Setahun:
Neh. 4-6, Mzm. 13, 1 Tim. 1
“Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga” (Matius 18:19 TB)
Bangsa kita, Indonesia, adalah bangsa yang unik, bukan hanya karena penduduknya yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, budaya dan bahasa serta agama, namun juga karena bangsa kita terlahir dari sejarah dan perjuangan yang panjang dan penuh rintangan. Salah satu pondasi dasar perjuangan kelahiran bangsa kita adalah diikrarkannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yaitu pada hari kedua pelaksanaan Kongres Pemuda Kedua di Batavia (Jakarta). Kala itu para pemuda Indonesia yang datang dari berbagai organisasi kepemudaan se-nusantara sama-sama mengikrarkan diri dalam suatu ikrar yang kelak dikenal sebagai ‘Sumpah Pemuda’. Selain itu dalam acara itu untuk pertama kalinya cikal bakal lagu kebangsaan kita, yaitu lagu Indonesia Raya, dikumandangkan secara instrumental menggunakan biola oleh sang penciptanya sendiri, Wage Rudolf Supratman.
Peristiwa Sumpah Pemuda adalah salah satu bentuk perjuangan yang penuh rintangan, sebab adalah tidak mudah untuk mengumpulkan dan mendudukkan para tokoh pemuda dari berbagai organisasi pergerakan saat itu yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda sehingga akhirnya mereka mau sama-sama bersepakat untuk mengikrarkan diri sebagai putra dan putri Indonesia yang bertumpah darah yang satu, yakni tanah Indonesia; berbangsa yang satu, yakni bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Lebih berat lagi ketika para tokoh pergerakan 1928 tersebut bertemu dengan pejuang-pejuang muda era 1945, karena adanya perbedaan pandangan antara generasi senior dengan generasi yunior. Begitu beratnya sampai-sampai generasi yunior menculik senior mereka yaitu Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok agar mau mengumumkan Proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Hari ini bangsa kita sudah berdiri kokoh di usianya yang ke-78 tahun, dan salah satu alasannya adalah karena ada orang-orang yang bersepakat untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengisinya dengan pembangunan. Orang-orang itu adalah para bapak bangsa kita, para orang tua kita, para senior dan kakak kita, termasuk kita sendiri dan adik-adik serta anak-anak kita. Matius 18:19 menunjukkan bahwa ketika kita semua sama-sama bersepakat, persis seperti yang dilakukan para bapak bangsa kita di tanggal 28 Oktober 1928 yang lalu, maka doa kita akan dikabulkan oleh Bapa di sorga.
Di usia yang ke-78, bangsa Indonesia tetap akan mengalami tantangan, ancaman, gangguan dan hambatan dari dalam dan luar bangsa kita. Sudah beberapa kali Indonesia mengalami krisis yang cukup luar biasa yang bahkan hampir memecah belah bangsa kita. Hari-hari ini pun kita masih terus berjuang menghadapi berbagai bahaya intoleransi antar umat beragama, terorisme, kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, korupsi dan mafia hukum, serta serangan ujaran kebencian antar pribadi dan kelompok tertentu. Pada tanggal yang sama, yaitu 28 Oktober, di tahun ini Tuhan kembali mengingatkan kita pada peristiwa Sumpah Pemuda 95 tahun yang lalu. Apakah kita mau dan siap untuk sama-sama sepakat bersatu membangun bangsa Indonesia? Apakah kita siap untuk menerima dan menghargai kelompok lain? Apakah kita siap untuk menghormati dan memberkati orang lain yang berbeda ras, suku dan agama dengan kita? Atau justru kita ikut-ikutan meng-“kadrun-kadrun”-kan orang lain yang berbeda pandangan dengan kita? Bagaimana menurut Anda? (YMH)
Questions:
1. Mengapa kita harus bersepakat untuk dapat membangun bangsa kita?
2. Pernahkah Anda berhadapan dengan orang yang berbeda pendapat/latar belakang? Bagaimana Anda menyikapinya?
Values:
Warga Kerajaan Allah yang sejati memiliki kerendahan hati untuk dapat menerima orang lain yang berbeda latar belakang atau pendapat.
Kingdom’s Quotes:
Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. – Ir. Soekarno–