LGBT

LGBT 

Bacaan Setahun: 
Yeh. 16, Mzm. 58, Wahyu 6 

“Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu, sebab itu adalah karangan bunga yang indah bagi kepalamu dan kalung yang indah bagi lehermu. Hai anakku, jika ada orang berdosa yang mencoba membujukmu, janganlah engkau menuruti.” (Amsal 1:8-10)

LGBT, singkatan dari Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender, adalah kelompok masyarakat  yang semakin marak dan berani terang-terangan. Saat ini, banyak negara memberikan kesamaan hak azasi kepada mereka, bahkan pernikahan sejenis dapat diakui secara hukum, dan gereja yang tidak setuju dipaksa untuk melakukan pernikahan tersebut, atau akan mendapat sanksi hukum. Hal ini sudah terjadi di beberapa negara bagian di Amerika.

Kelompok ini tidak hanya berani terang-terangan, tetapi juga agresif dalam menyebarkan gaya hidup mereka kepada banyak anak muda yang masih labil. Perdebatan telah terjadi, dan pendapat mayoritas para ahli adalah bahwa ini merupakan masalah “kelainan jiwa” yang perlu disembuhkan dan direhabilitasi. Namun, ada sekelompok kecil yang berpendapat, serta pendapat dari kelompok LGBT sendiri, bahwa mereka terlahir dengan penyimpangan ini. Mereka berpandangan bahwa penyimpangan ini terjadi karena kehendak Tuhan, karena kelahiran, dan bukan merupakan kesalahan mereka. Benarkah demikian?

Manusia terdiri dari roh, jiwa, dan tubuh. Roh tidak memiliki jenis kelamin, tubuh pasti memiliki jenis kelamin, meskipun sebagian kecil mengalami perkembangan genital yang tidak sempurna. Lalu, bagaimana dengan jiwa? Di sinilah permasalahannya. Jiwa seseorang selama masa anak-anak tidak menyadari apakah mereka laki-laki atau perempuan. Bahkan saat remaja, ketika hormon seks mulai diproduksi, mereka dapat mengalami orientasi seksual yang salah jika pergaulan mereka salah. Beberapa orang menjadi gay karena mereka menjadi korban selama masa remaja atau anak-anak. Tentu saja penyebabnya tidak tunggal. Pola asuh yang salah saat anak-anak, seperti mengharapkan anak laki-laki yang lahir sebagai perempuan, dan tanpa sadar mengasuhnya seperti anak perempuan. Hal yang paling penting adalah peran kedua orang tua. Jika seorang ayah tidak berperan sebagai pemimpin atau kepala keluarga yang baik, ini bisa menjadi pemicu terjadinya sifat LGBT pada anaknya karena tidak adanya figur ayah yang baik. Demikian juga peran ibu, jika tidak berperan sebagai ibu yang baik

Intinya, keluarga adalah tempat di mana jiwa seorang anak, yang sejak bayi kosong, hingga remaja yang masih labil, dibentuk. Jadi, menurut kesimpulan saya, “lebih baik mencegah daripada mengobati.” Artinya, mari sejak usia balita kita sebagai orang tua mengisi jiwa anak kita dengan didikan yang baik dan teladan. Sehingga jiwa mereka terbentuk dengan baik. Kesehatan yang baik tidak hanya mengacu pada kesehatan tubuh, tetapi juga kesehatan jiwa dan pikiran (pikiran). Dengan demikian, keluarga kita dapat terhindar dari “virus” LGBT. (DD)

Questions:
1. Apa penyebab seorang anak menjadi LGBT?
2. Apakah seseorang menjadi LGBT karena kelahiran atau karena ‘jiwa yang sakit’?

Values:
Warga Kerajaan sejati mempunyai kesadaran gender yang jelas laki-laki atau perempuan.

Kingdom’s Quotes:
Ketidakjelasan gender bukan terjadi semalam, tetapi dimulai sejak balita karena salahnya pola asuh saat kesadaran anak akan gender belum sempurna.