Bacaan Setahun:
Yes. 61-63
Mzm. 77
2 Pet. 2
MENGHAKIMI ORANG LAIN
“Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.” Yohanes 7:24
Dalam Yohanes 7:14-24 diceritakan kisah ketika Tuhan Yesus masuk ke dalam Bait Allah dan mulai mengajar di sana dengan penuh kuasa dan hikmat sehingga orang-orang Yahudi menjadi heran karena mereka tahu Tuhan Yesus bukan orang yang terdidik seperti mereka. Mereka
meremehkan pengajaran Tuhan Yesus dan menilai bahwa Tuhan Yesus tidak layak untuk mengajar di Bait Allah. Hal tersebut kemudian Tuhan Yesus kritisi dalam ayat 24, senada dengan pengajaran-Nya kepada para pengikut-Nya untuk tidak menghakimi orang lain (Matius 7:1-5).
Mengenai masalah menghakimi, Rasul Paulus juga mengingatkan jemaat Korintus untuk tidak menghakimi sebelum waktunya (1Korintus4:5).
Walaupun pengajaran untuk tidak menghakimi orang lain ini sudah terkenal, tetapi makna di dalamnya seringkali masih kabur bagi sebagian orang. Masih banyak yang berpandangan dan menyamakan perbuatan menghakimi sebagai suatu perbuatan yang sama
dengan menilai, dan hal ini dianggap mutlak. Siapa saja yang menilai orang lain berarti dikategorikan “menghakimi”. Tidak heran, seseorang yang menganggap orang lain bersalah seringkali diberi label “menghakimi”.
Untuk memahami kata “menghakimi” yang dimaksud Tuhan Yesus maka ada baiknya kita perlu mengerti bahwa dalam teks asli Alkitab kata “menghakimi” dalam bahasa Yunani disebut: krinō, yang dapat berarti: menilai, membedakan, menghukum, atau menghakimi.
Manakah arti yang tepat sebenarnya tergantung kepada konteks penggunaan kata tersebut. Jika bernuansa negatif, kata krinō diterjemahkan “menghakimi”, dalam arti suka menyalahkan orang lain. Dengan demikian, konteks penggunaan kata tersebut harus menjadi pedoman
utama dalam memahami makna larangan “jangan menghakimi”.
Penjelasan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa tidak semua tindakan krinō adalah keliru. Dalam Yohanes 7:24 Tuhan Yesus menasihati: “Janganlah menghakimi menurut apa
yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil”. Perkataan ini menyiratkan bahwa “menghakimi” diperbolehkan sepanjang dilakukan dengan benar.
Intinya, menghakimi tidak selalu sama
dengan menilai. Dalam budaya postmodern yang sangat diwarnai oleh relativisme, kebenaran ini perlu ditegaskan ulang. Tidak salah untuk menilai orang lain salah, asalkan hal kita tidak menghakimi dari apa yang nampak di luarnya saja, dan itu dilakukan dengan benar: tidak sombong, tidak merasa diri lebih baik, dengan lembut dan penuh kasih dan tegas (Titus 3:2). Bahkan dalam 2 Timotius 3:16 Rasul Paulus menyatakan bahwa salah satu dampak dari segala tulisan yang diilhamkan Allah adalah untuk menyatakan mana yang benar dan yang salah, serta memperbaiki yang salah sehingga orang menjadi benar. Inilah keadilan yang sejati, ketika
orang yang bersalah bertobat meninggalkan dosanya, kemudian hidup dalam kebenaran.
Sebagaimana teladan yang Tuhan Yesus berikan, maka kita sejatinya dipanggil untuk menyadarkan mereka yang telah bersalah, bukan untuk menyalahkan, apalagi menghakimi dalam arti hanya mencari-cari kesalahan orang lain dengan tujuan menghina, mempermalukan dan menjatuhkan orang lain.
Jika kita terlalu banyak menilai orang, maka kita menjadi tidak punya waktu untuk mencintai dan mengasihi mereka. Anda mengerti? (YMH)
Questions:
1. Menurut Anda, apa yang dimaksud Tuhan Yesus dengan menghakimi yang adil?
2. Pernahkah Anda menegur orang lain sehingga akhirnya ia bertobat dan hidup dalam kebenaran?
Values:
Warga Kerajaan Allah yang sejati
adalah pribadi yang melihat kesahalan orang lain, menegurnya dan mengajarnya dalam kebenaran.
Kingdom Quote:
Those who spend their time looking for the faults in others usually spend no time to correct their own. (Art Jonak)