PIKIRAN DAN PERASAAN KRISTUS

PIKIRAN DAN PERASAAN KRISTUS 

Bacaan Setahun: 

Mzm. 85 
Yes. 45-47 
Rm. 13 

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:5-8).

Rasul Paulus mengharuskan pengikut Kristus di kota Filipi untuk “menaruh pikiran dan perasaan” Kristus di dalam kehidupannya. Nilai yang dikembangkan di dalam pikiran dan perasaan memang menentukan tindakan atau prilaku seseorang. Kalau demikian pasti tidak ada orang yang benar-benar murni menjadi pengikut Kristus sesuai standar yang dimengerti oleh Rasul Paulus. Mengapa? Karena kita pasti tidak mengerti ‘pikiran dan perasaan Kristus’ – yang walaupun Allah namun tak mengangap dirinya setara dengan Allah melainkan mengosongkan dirinya dan mengambil peran sebagai hamba. Karena yang pertama kita bukan Allah, dan yang kedua, pasti kita tidak rela mengosongkan diri dan berkorban tanpa salah, bahkan sampai mati disalibkan. Lalu bagaimana pula yang dimaksud Rasul Paulus dengan kalimat, ‘mengosongkan diri dan mengambil peran seorang hamba’? Zaman dulu ketika masih zaman perbudakan, kata “hamba” ini artinya adalah budak, yaitu orang yang diperdagangkan dan tak punya hak. Sedang kata “mengosongkan diri” di dalam terjemahan Alkitab King James ditulis dan diartikan “tanpa reputasi”.

Lalu kualitas kehidupan macam apa yang orang Kristen harus jalankan jika “tanpa reputasi dan tanpa hak.” Apakah jalan pikiran seorang Kristen sejati adalah menjalankan kehidupan dari seorang yang punya hak dan kedudukan, kemudian harus tak boleh membela diri, dan tak boleh mempertahankan haknya?
Jika kita teliti tulisan Rasul Paulus pada bacaan di atas, pernyataan itu didahului dengan kalimat: “_karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Filipi 2:2-4). Ternyata kalau kita cermati, jalan kehidupan tanpa hak dan reputasi adalah, saran rasul Paulus untuk cara kehidupan bersama-sama sebagai sesama pengikut Kristen, yaitu cara hidup “yang saling” yaitu saling sehati dan sepikir dan saling menganggap kepentingan yang lain lebih utama.
Sebuah standar hidup dalam kebersamaan dan saling mengutamakan, saling punya pikiran dan perasaan yang sama seperti Kristus yang tanpa hak dan reputasi. Saling ‘jinjay’, saling mengosongkan diri, bukan saling egois. Kalau seperti ini sepertinya masuk akal, kita sesama pengikut Kristus harusnya hidup secara “saling”, yaitu secara kebersamaan masing-masing dan tidak mengutamakan hak, dan tidak mengutamakan reputasi diri sendiri .(DD)

Questions: 
1. Bisakah kita menerapkan pikiran dan perasaan Kristus? Jika tidak, mengapa Paulus menganjurkannya?
2. Untuk situasi yang bagaimana standar pikiran dan perasaan Kristus ideal kita praktikkan?

Values:
Standar warga Kerajaan bukan hanya percaya tapi mempraktikkan cara berpikir Sang Raja.

Kingdom Quote:
Saling merendah hati dan mengutamakan kepentingan orang lain terlebih dahulu, tak mungkin bisa kita lakukan tanpa kuasa Kasih Kristus.