TOXIC POSITIVITY

Bacaan Setahun: 
Ul. 28 
Mzm. 144 

TOXIC POSITIVITY 

“Orang yang menyanyikan nyanyian untuk hati yang sedih adalah seperti orang yang menanggalkan baju di musim dingin, dan seperti cuka pada luka.” Amsal 25:20

Di masa yang sukar seperti saat ini di mana wabah Covid-19 membawa dampak yang sangat luas terhadap kehidupan manusia, banyak sekali orang yang menderita berbagai-bagai kesusahan. Ada yang harus menderita sakit akibat terpapar Covid-19 bahkan sampai kehilangan nyawa, ada yang harus kehilangan pekerjaan dan penghasilannya, ada yang tidak dapat bertemu dengan keluarganya dalam waktu yang sangat lama, dan lain sebagainya.

Semua orang yang sedang menderita tentu sangat senang jika ada orang yang datang menghibur dan menguatkan, bahkan memberikan ayat-ayat pendukung dan mendoakan agar tetap bersemangat dan dapat bangkit kembali dari masalahnya. Namun ada kalanya kata-kata semangat itu justru terasa menyakitkan dan perih, bagaikan membuka baju di musim dingin, atau seperti tetesan cuka pada luka. Mungkin kata-katanya seperti memberikan dorongan bagi orang yang sedang menderita, namun dilakukan secara terus menerus tanpa disertai dengan pertimbangan, bahkan tanpa memberikan kesempatan untuk meluapkan perasaan si penderita. Dalam istilah populer situasi seperti itu sering disebut sebagai: toxic positivity.
Dalam pergaulan orang Kristen kita sering mendapati toxic positivity yang dibungkus dengan ayat-ayat firman Tuhan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa kalau kita percaya Tuhan, kalau kita orang Kristen yang sejati, atau kalau kita jemaat yang berbakti, maka kita akan mengatasi segala penderitaan dan kesulitan yang ada. Namun kata-kata semangat itu diberikan oleh sesama kita, bahkan oleh para hamba Tuhan, dengan mengabaikan perasaan sesungguhnya dari kita yang sedang mengalami penderitaan dan kesulitan, sehingga seolah-olah kesedihan dan rasa duka yang kita alami adalah tidak penting bahkan dianggap sebagai suatu dosa oleh si pemberi semangat itu. Bukannya menjadi terhibur dan kuat malahan kita jadi terintimidasi karena takut dianggap kurang beriman, kurang percaya janji Tuhan, atau kurang rohani.

Saya justru kagum dengan Daud, seorang raja dan pahlawan yang gagah perkasa. Meskipun ia tidak pernah kalah perang, diurapi Nabi Samuel sejak muda, ditakuti musuh-musunya dan dipuja rakyat Israel, namun dalam Mazmur 22 Raja Daud secara jujur menyatakan kegundahan hatinya. Bayangkan seorang jagoan perang yang gagah perkasa berseru kepada Tuhan dalam keputusasaan. Ia merasa bahwa Tuhan telah meninggalkan dan tidak menolong dia (Mazmur 22:1-2). Saya yakin ini adalah kejujuran pribadi Daud yang membuat hatinya yang hancur diperhitungkan Tuhan sebagai suatu korban yang menyenangkan (Mazmur 51:17).

Mari, belajarlah dari Raja Daud! Ketika sedang mengalami penderitaan dan kesulitan, datanglah pada Tuhan dengan hati yang jujur. Ungkapkanlah seluruh kegundahan dan kekuatiran kita kepada-Nya, sebab Ia mengerti bahasa tetesan air mata kita. Sebaliknya, ketika kita melihat orang lain yang sedang kesusahan dan menderita, janganlah berusaha menguatkannya dengan kata-kata semangat, bahkan dengan ayat-ayat firman Tuhan, tapi mengabaikan perasaannya. Cobalah untuk terlebih dulu menyelami kegundahan hatinya, dan selalu memberikan kesempatan untuk meluapkan perasaannya. Mengertilah bahwa ada saat untuk duduk bersama dalam diam dan tangisan tanpa kata-kata, sebab itu jauh lebih berarti dari pada ribuan kata-kata nasihat. Anda mengerti? (YMH)

Questions:
1. Masalah atau penderitaan apa yang paling hebat Anda rasakan selama masa wabah Covid-19?
2. Apakah ada orang lain yang datang menasihati dan menguatkan Anda dengan tepat?

Values:
Warga Kerajaan Allah yang sejati adalah warga yang jujur dalam mengungkapkan perasaannya kepada Sang Raja, dalam keadaan apapun juga.

Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk merayap; ada waktu untuk menari. (Penghotbah 3:4)